Selasa, 03 Mei 2011

Indonesia oh Nasibmu…..


Indonesia, berjuang melawan penindasan lebih dari 350 tahun. perjuangan yang sangat melelahkan memang, namun pucuk di cinta ulam pun tiba, indonesia berhasil mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 45. banyak orang meyakini ini merupakan JEMBATAN EMAS perjuangan Indonnesia menjadi bangsa yang yang besar. Membangun Bangsa yang dengan beribu-ribu pulau serta berpuluh-puluh etnis, suku, dan kebudayaan tidaklah mudah. Sejak me-merdeka-kan diri, kepentingan-kepentingan selalu menghiasi kebijakan nasional. “Kekuatan” mayoritas seolah menjadi “adidaya” dalam segala situasi, pondasi yang begitu “manis” yang tercermin dalam sila-sila Pacasila tidak dilaksanakan secara seutuhnya.
Semangat kebersamaan untuk melepaskan belenggu penjajahan berubah menjadi kepentingan-keentingan ke-suku-an; golongan; kelompok; bahkan kepentingan agama juga tidak luput memberikan andil dalam pengelompokkan masyarakat. Tidak heran jika di beberapa daerah akhirnya muncul gerakan-gerakan sparatisme yang menuntut untuk memerdekakan diri. Al ini biasanya dilakuka oleh daerah/kelompok yang merasa tertindas, atau terpinggirkan bahkan hanya menjadi objek penderita semata. Dewasa ini, setelah lebih dari 10 tahun era reformasi bergulir. Kekacauan terus terjadi, hampir di semua sendi kehidupan. krisis perekonomian, krisis moral, krisis kepercayaan, dan yang paling mutakhir adalah krisis demokrasi, atau banyak juga orang menyebutnya demokrasi yang kebablasan. Semua permasalahan bangsa kian membula dan tidak ditemukan dimana pangkal dari masalah-masalah yang dihadapi. Penyelesaian krisis perekonomian dilakukan dengan “mengadaikan” Negara. Berkedok investasi, SDA terus terjual. Investasi oleh perusahaan luar masih sampai sector-sektor riyil yang dulunya menjadi lahan kehidupan masyarakatnya. Tidak kelirukah “Diagnosa” pemeritah sehingga resep pemecahannya seperti ini. Untuk menangani krisis moral yang muncul belakangan, Eksekutif dan Legislatif belum menemukan resep yang “jitu”. UUAP justru menjadi polemik di masyarakat dan di beberapa daerah mengancam melakukan pembangkangan sipil bahkan ada memerdekakan diri, pendekatan norma ajaran golongan tertentu dalam mengatasi permasalahan kesusilaan justru memecah belah semangat kebinekaan yang ditanamkan oleh Bung Karno dkk dalam meletakkan pondasi bangsa ini. Belakangan, kekacauan dalam system demokrasi yang sedang dibangun kian mencuat. Banyak yang memperdebatkan permasalahan teknis, serta tumpang tindihnya aturan yang mengatur sistem keterwakilan rakyat di parlemen. Sistem demokrasi pada saat ini memberikan peluang bagi siapa saja untuk duduk di parlemen menjadi wakil rakyat, baik di tingkat DPRD tk II, DPRD tk I, maupun DPR RI. Bak membuka perusahaan baru, jumlah pelamar yang “mendaftar” bejubel, suasananya mirip dengan penjaringan CPNS yang dilakukan baru-baru ini, sama-sama rebut-ribut uang sogokan. Yang membedakan mungkin kalau ter CPNS tidak ada perang baliho di pinggir jalan, perempatan, hingga “jurang”. Untuk “lowongan” di parlemen tingkat II misalnya, Propinsi Bali dengan 9 Kabupataten/Kota, jumlah calon legislatif yang mendaftar mencapai 5.065 orang. Padahal jumlah kursi yang tersedia hanya 399 kursi (7,8%), sehingga 90,22% diantara “pelamar” yang poto-nya berjejer di pinggir jalan dipastikan akan gagal. Secara kasat mata hal ini nampak baik, dengan banyaknya calon pelamar maka akan berkorelasi positif dengan kualitas yang dihasilkan. Semakin banyak calon, maka kesempatan untuk memilih yang terbaik lebih dimungkinkan, dari pada tidak ada pilihan (ya/ga ?). Diawal pencalegan, banyak riuh-riuh tentang jual beli nomor jadi, sogok menyogo oleh kader kepada pimpinan partai seolah menjadi rahasia umum masyarakat. Terutama terjadi di partai-partai besar. jika hai itu benar, maka partai-parta besar tersebut secara tidak langsung telah menggadaikan Bangsa ini kepada pemilik modal, karena hanya pemodal besarlah yang mampu membeli nomor “cantik” itu. Belakangan dengan berlakukanya Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, penetapan pemenang berubah dengan memungkinkan CALEG nomor “sepatu” duduk di parlemen. tentu kabar ini manjadi angin baru dalam penegakan demokrasi di Indonesia. banyak kalangan menyambut dengan suka cita, tapi banyak juga yang menyayangkannya. Carut-marutnya sistem perdemokrasikan yang diterapkan di Indonesia, serta adobsi system Luar negeri yang belum tentu semuanya sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia, ditambah lagi dengan tidak siapnya Partai-partai yang ada dalam melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat serta kader-kadernya, dan kegagalan partai dalam menyiapkan kader-kader bangsa untuk berpikir jernih membangun bangsanya. partai tidak mempunya kemampuan dalam menentukan siapa yang “ditugaskan” membangun dan memikirkan bangsa. Tulisan ini dperuntukan bagi kawan-kawan seperjuangan yang ingin melihat bangsa ini menjadi bangsa yang bangga terhadap banganya dan percaya pada kekuatan yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila, sebagai intisari Indonesia. Mohon Kritikan dan Sarannya!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar